BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejalan
dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang
dihadapi oleh negara, telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan
pemerintahan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan upaya-upaya meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, karena itu perlu
ada rangka pemerintahan yang kuat.
Reformasi
birokrasi salah satu cara yang tepat untuk membangun kepercayaan rakyat.
Reformasi birokrasi ialah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang
tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang
sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, namun juga terkait perubahan pada tingkat struktur dan
sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang
bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).
Dengan
perkembangan politik dan demokrasi dewasa ini telah banyak melahirkan tantangan-tantangan
yang semakin besar, khususnya bagi lembaga-lembaga pemerintahan. Setiap lembaga
pemerintah dituntut untuk mendefinisikan visi, misi, dan perannya sebagai
lembaga publik agar mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Hal
tersebut mengakibatkan adanya tuntutan atas perubahan internal birokrasi
tersebut, menuju terwujudnya pemerintahan yang menjamin kepastian hukum,
keterbukaan, profesional dan akuntabel sesuai dengan prinsip good governance. Prinsip tersebut
memberikan pengaruh kuat dalam pemerintahan Indonesia, yaitu menuntut adanya
perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan. Di samping itu, juga perlu
adanya peningkatan sumber daya manusia aparatur yang mampu mencermati berbagai
perubahan paradigma akibat perkembangan lingkungan yang strategis.
Aparatur
pemerintah dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diharapkan memiliki
sikap yang profesional, kompeten dan akuntabel yang dapat mendukung kondisi
pemerintahan yang transparan, demokratis, berkeadilan, efektif dan efisien
dengan menghormati hukum yang mendorong terciptanya partisipasi dan
pemberdayaan.
Dalam
hal peningkatan mutu aparatur pemerintah sebagai modal dasar pembangunan
nasional, maka kinerja sumber daya manusia senantiasa harus ditingkatkan dan
diarahkan agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Peningkatan mutu sumber
daya manusia yang strategis terhadap ketrampilan, motivasi, pengembangan dan
manajemen pengorganisasian sumber daya manusia merupakan syarat utama untuk
mewujudkan kemampuan bersaing dan kemandirian. Sejalan dengan itu visi dalam
konteks pembangunan bidang kepegawaian dimasa yang akan datang adalah
mempersiapkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, mampu bersaing dan mampu
mengantisipasi perkembangan dunia yang pesat diberbagai aspek kehidupan
sehingga mampu meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja yang tinggi. (Maarif,
2003, h.2)
Kesadaran
akan perlunya sumber daya manusia yang berkualitas, perlu ditindaklanjuti
dengan berbagai strategi yang dapat meningkatkan kinerja pegawai. Salah satu
strategi untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan, setiap organisasi harus
mendesain kembali perencanaan organisasinya, pengelolaan manajemen kinerja
serta pendayagunaan manusia. Dalam hal ini berarti mengupayakan agar sumber
daya manusia itu mampu dan mau bekerjasama secara optimal demi tercapainya
tujuan organisasi.
Unsur
sumber daya manusia dan sistem pemerintahan yang fleksibel terhadap lingkungan
perubahan menjadi semakin menentukan bagi keberhasilan pencapaian tujuan yang
diharapkan. Beberapa pakar menyatakan bahwa salah satu penyebab keterpurukan
perekonomian Indonesia adalah rendahnya komitmen dan kinerja penyelenggaraan
negara. Kinerja pegawai merujuk pada tingkat keberhasilan seseorang dalam
melaksanakan tugas serta upaya yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kinerja seseorang dapat menjadi optimal jika didukung oleh
kemampuan yang baik dan motivasi yang kuat. Keberhasilan kinerja pegawai sebuah
organisasi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
pegawai. Menurut Rothwell (2000, h.6),
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu : data dan
informasi, sumber daya, peralatan dan lingkungan, konsekuensi hasil kerja,
keahlian dan pengetahuan, kemampuan, motivasi serta insentif dan imbalan.
Komitmen
dan kinerja yang rendah dari penyelenggara negara antara lain disebabkan
rendahnya gaji yang diterima. Minimnya gaji yang diterima oleh PNS diindikasikan sebagai
salah satu penyebab belum tercapainya kesejahteraan PNS secara layak dan
merata. Berbagai sorotan dilontarkan terhadap gaji PNS, mulai dari keluhan PNS sendiri, sampai dengan
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh masih kecinya kesejahteraan yang diterima PNS.
Bagi
suatu organisasi, gaji merupakan salah satu pengeluaran atau biaya untuk penggunaan
tenaga kerja. Oleh karena itu, sistem balas jasa dapat dilihat sebagai suatu
sistem yang berada pada hubungan timbal balik antara organisasi dengan pegawai.
Selain itu, organisasi selalu mengaitkan antara balas jasa dengan kuantitas,
kualitas dan manfaat balas jasa / gaji yang dipersembahkan pegawai kepada
organisasi yang akan mempengaruhi pencapaian organisasi, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kelangsungan organisasi. Dari sisi pegawai, balas jasa
dilihat sebagai sarana pemenuhan berbagai kebutuhan hidupnya, terutama hidup
sehari-hari.
Sistem
penggajian merupakan bagian dari sistem remunerasi dan merupakan salah satu
implementasi atau penerapan hasil dari manajemen kinerja. Remunerasi sendiri
memiliki pengertian sebagai setiap bentuk imbalan (reward) yang diterima pegawai sebagai akibat dari kinerja-kinerja
tugas dalam organisasi, termasuk diantaranya hadiah, penghargaan atau promosi
jabatan. Kinerja sendiri tidak dapat dicapai secara optimal apabila remunerasi
diberikan tidak secara proposional (Ivancevich:2001, h.286-287). Pendekatan
melalui pengembangan remunerasi ini dikenal sebagai cara yang efektif untuk
mengurangi biaya dan menambah produktifitas pegawai.
Kenaikan
gaji hanya akan efektif jika dilaksanakan bersamaan dengan penerapan manajemen
kepegawaian yang berorientasi pada kinerja, sehingga ada kejelasan tentang apa
yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing pegawai, serta
ukuran/target kinerja yang bagaimana yang harus dicapai, dengan demikian setiap
pegawai memahami bahwa untuk mendapatkan imbalan tertentu harus mencapai
kinerja tertentu pula.
Dengan
pengembangan sistem remunerasi pegawai yang berdasarkan pada beban kerja dan
tanggung jawab masing-masing pegawai serta kinerja pegawai maka diharapkan
dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan kewenangan berupa tindakan korupsi,
kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan, karena good governance erat kaitannya dengan moral individu. Buruknya
kualitas pelayanan publik juga ditunjukkan pada beberapa jenis layanan publik
masih ditemukan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kondisi
ini terjadi karena adanya beberapa situasi yang mempengaruhi aparat
pemerintahan melakukan KKN. Di satu sisi aparat pemerintahan memiliki tingkat
penghasilan yang rendah dan di sisi yang lain dihadapkan dengan tingkat
kebutuhan yang tinggi. Hal ini mendorong aparat pemerintahan untuk melakukan
KKN guna memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya perilaku ini merupakan upaya
darurat untuk memenuhi kebutuhan yang tidak tercukupi. Tetapi pada tahap selanjutnya
berkembang menjadi perilaku dan budaya dari aparat pemerintahan.
Aparat
pemerintahan melakukan korupsi secara terbuka misalnya dengan meminta
"uang administrasi atau uang rokok" dari warga masyarakat yang
memerlukan pelayanan. Perilaku korupsi ini diterima di masyarakat sebagai suatu
hal yang normal dan wajar karena gaji pegawai negeri sipil yang tidak mencukupi
(Prasojo, 2006, h.298).
KKN
merupakan ciri yang menonjol pada birokrasi yang buruk saat ini terutama di
Indonesia. Hampir setiap hari media massa baik elektronik maupun cetak
memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh para aparat pemerintahan.
Korupsi dilakukan secara berjamaah dari mulai level pegawai terendah sampai
dengan pegawai level tertinggi di setiap unit pemerintah. Akhir-akhir ini tidak
jarang terlihat pejabat-pejabat tinggi tertangkap tangan sedang melakukan KKN.
Beberapa diantaranya sudah dijatuhi hukuman penjara, sedang sebagian yang
lainnya masih dalam proses. Korupsi dalam pelayanan publik sudah menjadi
praktek sehari-hari di Indonesia dan bahkan sudah terlembaga yang melibatkan
semua pihak yang terkait yang saling menjaga rahasia dan saling melindungi
(Prasojo, 2006, h.298).
Menurut
Adiningsih (2007,h.83),
persoalan korupsi adalah masalah struktural dan berhubungan dengan sistem
birokrasi. Sikap korup timbul karena gaji yang masih rendah, adanya iming-iming
uang yang ditawarkan dalam jumlah yang besar kepada aparat, dan posisi kerja
yang tidak sesuai dengan kemampuan. Faktor kebutuhan hidup yang semakin besar
dan godaan yang ada juga menjadi pemicu korupsi (http://www.antara.co.id).
Dengan
dasar seperti itu, maka remunerasi yang diterima oleh pegawai akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya secara adil dan layak. Di dalam penelitian ini,
hanya difokuskan pada sitem remunerasi Pegawai Negeri Sipil tanpa dikaitkan
dengan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme karena masalah tersebut memerlukan
penelitian khusus.
Pada
tataran normatif gaji Pegawai Negeri Sipil tercantum di dalam Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang pokok-pokok kepegawaian yang mengemukakan bahwa struktur gaji Pegawai
Negeri Sipil yang harus dipenuhi adalah struktur gaji yang adil dan layak. Gaji
yang adil dan layak adalah bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil harus mampu memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya, sehingga Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan
tugas yang dipercayakan kepadanya. Pengaturan gaji Pegawai Negeri Sipil yang
adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antara Pegawai
Negeri Sipil maupun antara Pegawai Negeri Sipil dengan swasta. Sedangkan gaji
yang layak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok. Selain itu,
gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil harus mampu memacu
produktivitasnya yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat pelayanan kepada
masyarakat.
Remunerasi
pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan
Reformasi Birokrasi. Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen
pemerintah untuk mewujudkan clean and
good governance. Tujuan dari pemberian remunerasi di lingkungan KEMKUMHAM ini
ialah peningkatan pelayanan hukum kepada masyarakat, peningkatan kesadaran, seperti yang diungkapkan oleh
Bambang Rantam, Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI:
“Dengan adanya
remunerasi ini saya berharap agar kinerja seluruh pegawai Kementerian Hukum dan
HAM semakin ditingkatkan, jikalau ada catatan hitam yang selama diberitakan di
media saya harapkan agar kedepannya sudah tidak ada lagi.”[1]
Namun
pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam
rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak
mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang
layak dari pegawai itu sendiri. Perubahan dan pembaharuan tersebut dilaksanakan
untuk menghapus kesan pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Antara lain
ditandai oleh indikator:
1. Buruknya
kualitas pelayanan publik (lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit
belit, arogan, minta dilayani, dsb.)
2. Sarat
dengan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
3. Rendahnya
kualitas disiplin dan etos kerja aparatur negara.
4. Kuaiitas.manajemen
pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien.
5. Kualitas
pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan.
Dilihat
pada kenyataan yang terjadi, sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil pada
Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia belum mendukung
tercapainya perubahan yang relatif signifikan terhadap kinerja, produktifitas
dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil. Hal ini ditunjukkan dengan
pemberian gaji yang sama, baik bagi pegawai berkinerja tinggi maupun pegawai
berkinerja rendah. Penerapan gaji belum didasarkan pada beban kerja yang harus
ditanggung oleh masing-masing pegawai. Selain itu tidak adanya sanksi
terhadap pegawai yang berkinerja rendah, mereka memiliki hak yang sama, sehingga mengakibatkan
belum profesionalnya kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Widyaningrum (2008, h.109), bahwa:
Penerapan sistem
penggajian ini masih menjadi masalah yang menimbulkan rasa ketidakadilan bagi
pegawai, terlihat dari berbagai kondisi sebagai berikut :
1. Gaji
Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia yang relatif kecil, telah menimbulkan Social & economy cost yang mahal melalui "maraknya"
korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan birokrasi pemerintah.
2. Adanya
tindakan tercela Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia bukan semata-mata karena rendahnya moral tetapi
karena terdesak kebutuhan hidup yang layak.
3. Sistem remunerasi
yang berlaku pada Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
kurang transparan karena di samping gaji ada pegawai yang menerima tunjangan
khusus dan sejumlah honorarium dari pos non gaji sehingga:
o
Terjadi
ketidakadilan dalam penghasilan (tidak semua dapat tunjangan khusus atau
honorarium).
o
Jumlah
anggaran untuk belanja pegawai sulit diketahui secara pasti dan sulit
dipertanggungjawabkan kepada publik karena sebagian besar berasal dari sumber
non gaji.
4. Struktur
gaji pada Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kurang
mendorong produktivitas, karena :
o
Gaji
tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, namun didasarkan pada pangkat
dan masa kerja.
o
Jarak
antara gaji terendah dan gaji tertinggi terlalu pendek, sehingga kenaikkan
pangkat hanya diikuti dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang tidak
berarti.
5. Sistem
pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil setelah
memasuki masa pensiun.
Dalam
rangka memperhatikan secara lebih intensif mengenai remunerasi yang
berorientasi kinerja, sehingga dapat mendorong produktifitas Pegawai Negeri
Sipil, maka penulis merasa
penting untuk melakukan penelitian yang berjudul "IMPLEMENTASI REMUNERASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi pada Sekretariat
Jenderal Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia)."
B.
Rumusan Masalah
Untuk
membatasi masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini, maka penulis hanya
melakukan penelitian di lingkungan Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan
HAM RI, khususnya mengenai Implementasi Remunerasi terhadap kinerja Pegawai
Negeri Sipil. Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan
masalah penulis dalam hal ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
implementasi remunerasi terhadap kinerja pegawai pada Sekretariat Jenderal
Kementerian Hukum dan HAM RI?
2. Faktor
apasajakah yang mempengaruhi implementasi remunerasi di Sekretariat Jenderal
Kementerian Hukum dan HAM RI?
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian
merupakan suatu proses dengan menggunakan metode ilmiah untuk dapat menemukan,
mengembangkan serta menguji kebenaran ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui
dan menganalisis bagaimana implementasi remunerasi terhadap kinerja pegawai
pada Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI; dan
2. Mengetahui
dan menganalisis faktor apasajakah yang mempengaruhi implementasi remunerasi di
Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI.
D. Kontribusi
penelitian
1. Kontribusi Teoritis
Hasil penelitian ini terutama diharapkan
dapat memberikan kontribusi dalam menganalisis penerapan sistem remunerasi
pegawai yang adil dan layak. Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam meninjau kembali mengenai sistem remunerasi
pegawai sehingga dapat memberikan reward yang sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pegawai. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan masukan,
dan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu administrasi publik.
2. Kontribusi Praktis
a. Bagi peneliti
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan diperoleh
sehingga dapat menambah wawasan dalam berpikir praktis.
b. Bagi instansi terkait
Diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan yang bermanfaat bagi
instansi terkait, serta dapat memberikan
kontribusi dalam penyempurnaan sistem remunerasi Pegawai Negeri Sipil yang
berdasarkan beban kerja dan kinerja pegawai, sehingga mencerminkan keadilan
baik secara internal maupun eksternal. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki sistem remunerasi
yang terdapat di lingkungan Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI.
Perbaikan yang dimaksud disini adalah upaya strategis yang dapat dilakukan
secara internal lembaga pemerintah.
c. Bagi peneliti lain
Sebagai
informasi pembanding bagi peneliti lain yang membahas tentang remunerasi yang
dilaksanakan Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum
dan HAM RI, sehingga menjadi lebih baik pada masa mendatang. Dan digunakan
sebagai bahan masukan untuk peneliti-peneliti selanjutnya dengan tema yang
sama.
E. Sistematika
Pembahasan
Untuk
lebih memudahkan pembahasan dalam penulisan ini serta mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai apa yang akan dibahas dalam setiap bab, maka sistematika
penulisan ini disusun sebagai berikut:
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam
bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan, kontribusi penelitian serta sistematika penulisan skripsi yang akan
menjelaskan pemadatan materi di semua bab dalam skripsi.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam
bab ini penulis akan menguraikan tinjauan pustaka tentang Implementasi
Remunerasi terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil yang memuat tentang
remunerasi, pengertian dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai,
serta pengertian, pengelompokkan dan kedudukan PNS.
BAB
III METODE PENELITIAN
Dalam
bab metode penelitian ini penulis menjelaskan bagaimana penelitian untuk
skripsi ini dilakukan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif, yang pada garis besarnya memuat tentang jenis penelitian, fokus
penelitian, lokasi dan situs penelitian, jenis dan sumber data, teknik
pengumpulan data, instrument penelitian serta analisi data.
BAB IV HASIL
DAN PEMBAHASAN
Dalam
bab ini dibahas mengenai bagaimana penerapan remunerasi pada Sekretariat
Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI; dan bagaimana Implementasi Remunerasi
terhadap kinerja pegawai pada Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM
RI. Selain menyajikan data-data yang ada, di bab ini penulis juga memaparkan
analisisnya yang sesuai dengan konsep serta teori yang diapakai dalam bab
tinjauan pustaka.
BAB
V PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan
mengenai kesimpulan dan saran dari penulis. Kesimpulan berisi tentang garis
besar dari pembahasan yang akan menjawab permasalahan yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Sedangkan saran merupakan rekomendasi dari penulis tentang
penelitian yang telah dilakukan sebagai studi lanjutan dan kebijakan-kebijakan
yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Pemerintah mengenai Remunerasi
Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) akan membuat program penilaian
kinerja untuk setiap aparatur negara. Hasil penilaian ini akan berdampak pada
remunerasi. Reformasi birokrasi mendorong agar adanya percepatan perubahan
perbaikan kinerja aparatur pemerintah. Aparatur pemerintah sebagai alat
pemerintah yang dituntut agar bekerja lebih profesional, bermoral, bersih dan
beretika dalam mendukung reformasi birokrasi dan menunjang kelancaran tugas
pemerintah dan pembangunan (dalam Effendi, 2009,h.186).
1. Latar belakang kebijakan remunerasi
Remunerasi pemerintahan adalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi.
Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean
and good governance.
Namun pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai yang melaksanakannya. Perubahan dan pembaharuan tersebut dilaksanakan untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Antara lain ditandai oleh indikator:
Namun pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai yang melaksanakannya. Perubahan dan pembaharuan tersebut dilaksanakan untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Antara lain ditandai oleh indikator:
a) Buruknya kualitas pelayanan publik
(lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta
dilayani atau feodal style, dsb);
b) Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi,
Kolusi, Nepotisme);
c) Rendahnya kualitas disiplin dn etos
kerja aparatur negara;
d) Kualitas.manajemen pemerintahan yang
tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien;
e)
Kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak
transparan.[2]
2. Maksud dan tujuan kebijakan remunerasi
Para
aparatur negara adalah bagian dari Pemerintahan. Maka dalam konteks Reformasi
birokrasi dilingkungan tersebut, upaya untuk menata dan meningkatkan
kesejahteraan para pegawai adalah merupakan kebutuhan yang sangat elementer,
mengingat kaitannya yang sangat erat dengan misi perubahan kultur pegawai
(Reformasi bidang kultural). Sehingga dengan struktur gaji yang baru, setiap
pegawai diharapkan akan mempunyai daya tangkal (imunitas) yang maksimal
terhadap rayuan atau iming-iming materi (kolusi).
3. Pihak yang mendapatkan remunerasi
Sesuai dengan Undang-undang No. 17 tahun
2007, tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 dan
Peraturan Meneg PAN, Nomor:PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi
birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di
seluruh lembaga pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan
berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok :
a)
Prioritas
pertama adalah seluruh Instansi Rumpun Penegak Hukum, rumpun pengelola Keuangan
Negara, rumpun Pemeriksa dan Pengawas Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban
Aparatur Negara.
b)
Prioritas
kedua adalah Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem
produksi, sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani
masyarakat secara langsung termasuk Pemerintah Daerah (PEMDA).
c)
Prioritas
ketiga adalah seluruh kementerian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama
dan kedua.
4. Landasan hukum kebijakan remunerasi
Berikut
adalah landasan hukum yang mendasari kebijakan tentang pemberian remunerasi,
yaitu:
a) UU No 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
b) UU No.43 tahun 1999 tentang
perubahan atas UU No.8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Yang salah
satu substansinya menyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji
yang adil & layak sesuai dengan beban pekerjaan & tanggung jawabnya. (
Pasal 7, UU No.43 tahun 1999)
c) Undang-undang No. 17 tahun 2007,
tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Khususnya pada
Bab IV butir 1.2, huruf E. Yang menyatakan bahwa :
“Pembangunan Aparatur Negara dilakukan melalui Reformasi
birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan tata
pemerintahan yanq baik. Di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung
keberhasilan pembangunan dibidang bidang lainnya. “.
d) Perpres No.7 tahun 2005, tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
e) Konvensi ILO No. 100; Diratifikasi pada
tahun 1999, bunyinya ‘Equal remuneration for jobs of equal value’
(Pekerjaan yang sama nilai atau bobotnya harus mendapat imbalan yang sama).
Sedangkan yang
menjadi payung hukum pemberian remunerasi di Kementerian Hukum dan HAM RI
adalah Peraturan Presiden No. 40 tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja Bagi
Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam Peraturan
tersebut juga dicantumkan nominal tunjangan kinerja berdasarkan kelas
jabatannya (Job Class) masing-masing.
Mengenai
pelaksanaan pemberian remunerasi telah tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum
dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pemberian
Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI.
Yang perlu
diperhatikan dalam pemberian remunerasi di Kementerian Hukum dan HAM RI,
tertera dalam bab 2 mengenai komponen penentu besaran tunjangan kinerja yang
tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun
2011.
Dalam pasal 3
menyebutkan bahwa tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
diberikan berdasarkan 3 komponen, yaitu:
a)
Target
kinerja yang dihitung menurut kategori dari nilai capaian Standar Kinerja
Pegawai (SKP);
b)
Kehadiran
menurut hari dan jam kerja di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI serta
cuti yang dilaksanakan oleh pegawai; dan
c)
Ketaatan
pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan dalam
pasal 4 disebutkan bahwa :
1)
Tunjangan
kinerja dibayarkan secara proporsional berdasarkan kategori dan nilai capaian
SKP;
2)
Ketentuan
mengenai kategori dan nilai capaian SKP sebagaiamana dimaksud dalam pasal 3
huruf a serta penerapannya diatur dalam Peraturan Menteri.
Besaran tunjangan kinerja yang akan diterima tidak mutlak sama dengan besaran yang
ditetapkan sesuai grade karena dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya jumlah kehadiran (telah
diatur dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011). Selain itu di masa yang akan datang, besaran tunjangan kinerja bisa naik atau juga bisa turun, tergantung dari hasil
penilaian Tim Evaluasi Independen.
5. Tahap pelaksanaan remunerasi
Pentahapan
Remunerasi dari awal kegiatan (pengumpulan data) sampai dengan tahap legislasi
(penerbitan undang-undang) adalah :
a) Analisa jabatan
b) Pengumpulan data jabatan
c) Evaluasi jabatan dan Pembobotan
d) Grading atau penyusunan struktur gaji baru.
e) Job pricing atau penentuan harga jabatan
f) Pengusulan peringkat dan harga
jabatan kepada Presiden (oleh Meneg PAN)
6. Prinsip dasar kebijakan remunerasi
Prinsip
dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional. Artinya kalau
kebijakan masa lalu menerapkan pola sama rata (generalisir), sehingga yang
tidak berkompeten juga mendapatkan penghasilan yang sama. Maka dengan kebijakan
Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh seorang
pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang disandangnya.
B. Manajemen
Sumber Daya Manusia (MSDM)
Keberhasilan suatu organisasi baik
besar maupun kecil bukan semata-mata ditentukan oleh sumber daya alam yang
tersedia, akan tetapi banyak ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang
berperan merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan organisasi yang
bersangkutan.
1. Pengertian
MSDM
Manajemen Sumber Daya Manusia atau
sering disebut Personnel Management,
Manajemen Kepegawaian atau Manajemen Personalia adalah beberapa istilah yang
sama artinya, merupakan anak atau cabang dari manajemen.
Sering diungkapkan Manajemen sebagai
memperoleh hasil melalui orang lain, dan karena Manajemen Sumber Daya Manusia
merupakan salah satu cabangnya, maka iapun mempunyai sasaran yang sama dengan
manajemen, dengan tekanan utama terpeliharanya human relationship yang baik antar-individu dan bahwa setiap
individu berusaha memberi kontribusinya yang optimal dalam pencapaian tujuan
organisasi.
Manajemen sumber daya
manusia, disingkat MSDM,
adalah suatu ilmu
atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya
(tenaga kerja) yang dimiliki oleh individu
secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga
tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat
menjadi maksimal. MSDM didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia
bukan mesin dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis. Kajian MSDM
menggabungkan beberapa bidang ilmu seperti psikologi,
sosiologi,
dan lain-lain.[3]
Unsur
MSDM adalah manusia.
Manajemen sumber daya manusia juga menyangkut desain dan implementasi sistem
perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karier,
evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik.
Manajemen sumber daya manusia melibatkan semua keputusan dan praktik manajemen
yang memengaruhi secara langsung sumber daya manusianya.
Malayu Hasibuan (2006, h.9)
mengungkapkan bahwa : manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara effektif dan
efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Manajemen ini terdiri dari enam
unsur (6M), yaitu: man, money, methode,
materials, machines, dan market. Unsur man
(manusia) ini berkembang menjadi suatu bidang ilmu manajemen yang disebut
Manajemen Sumber Daya Manusia atau disingkat MSDM yang merupakan terjemahan
dari man power management. Manajemen
yang mengatur unsur manusia ini ada yang menyebutnya manajemen kepegawaian atau
manajemen personalia.
Definisi
Manajemen Sumber Daya Manusia yang dapat diterima secara universal tidak ada,
karena antara definisi yang dibuat oleh penulis yang satu dengan penulis yang
lain terdapat perbedaan-perbedaan.
Menurut
Edwin B. Flippo (dalam Moekijat, 1999, h.7) Manajemen kepegawaian adalah
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pengadaan,
pengembangan, kompensasi integrasi, dan pemeliharaan orang-orang dengan tujuan
membantu mencapai tujuan organisasi, individu, dan masyarakat.
Sedangkan
menurut Drs. Heidjracman Ranupandoyo dan Drs. Suad Husnan, MBA (dalam Triton
PB, 2005, h.13) : Manajemen Personalia adalah perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan dari pengadaan, pemberian kompensasi, pengintegrasian
dan pemeliharaan tenaga kerja dengan maksud untuk membantu pencapaian tujuan
perusahaan, individu dan masyarakat.
Pendapat
lain oleh Malayu S.P Hasibuan (2006, h.10) bahwa : MSDM adalah ilmu dan seni
mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu
terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dr. H. Achmad S. Ruky
(2006, h.20) mengungkapkan bahwa :
“MSDM
adalah suatu bidang manajemen yang khusus mempelajari hubungan dan peranan
manusia dalam organisasi perusahaan. Unsur MSDM adalah manusia yang merupakan
tenaga kerja pada perusahaan. Dengan demikian, fokus yang dipelajari MSDM ini
hanyalah yang berhubungan dengan tenaga kerja manusia saja.”
Dengan
demikian Manajemen Sumber Daya Manusia atau manajemen kepegawaian dapat
didefinisikan sebagai pengelolaan organisasional baik individu maupun kolektif
terhadap aset manusia untuk memberikan kontribusi optimal dalam mencapai
sasaran organisasi atau dengan kata lain berhubungan dengan masalah-masalah
kepegawaian dalam suatu organisasi.
2. Tujuan & Manfaat MSDM
Ada 4 tujuan besar dalam MSDM (Davis,1996,h.6)
:
a.
Tujuan
organisasi :
Untuk
mengetahui dan menilai sejauh mana Manajemen Sumber Daya Manusia dapat memberi
kontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi
b.
Tujuan
Fungsional :
Untuk
menilai ketersediaan Sumber Daya Manusia yang ahli dan trampil dalam
melaksanakan tugas serta kesetiaan pada organisasi, dedikasi pada tugas dan
kesediaan bekerjasama.
c.
Tujuan
Masyarakat :
Untuk
melihat dan menilai seberapa besar kontribusi Manajemen Sumber Daya Manusia
dalam mempengaruhi organisasi, merespon isu sosial dan etika yang berkaitan
dengan kebutuhan dan tantangan dalam masyarakat.
d.
Tujuan
individu :
Untuk
melihat dan mengukur keberhasilan Manajemen Sumber Daya Manusia membantu
pegawai dalam mencapai tujuan pribadinya atau tujuan yang berkaitan dengan
kontribusi mereka dalam organisasi.
3. Fungsi-fungsi MSDM
Menurut
Cherrington(1995,h.11), fungsi-fungsi sumber daya manusia terdiri dari:
a.
Staffng/Employment
Fungsi ini terdiri dari
tiga aktivitas penting, yaitu perencanaan, penarikan, dan seleksi sumber daya
manusia. Sebenamya para manajer bertanggung jawab untuk mengantisispasi
kebutuhan sumber daya manusia. Dengan semakin berkembangnya perusahaan, para
manajer menjadi lebih tergantung pada manajemen sumber daya manusia untuk
mengumpulkan informasi mengenai komposisi dan keterampilan tenaga kerja saat
ini.
Dalam proses seleksi, manajemen
sumber daya manusia melakukan penyaringan melalui wawancara, tes, dan
menyelidiki latar belakang pelamar. Tanggung jawab manajemen sumber daya
manusia untuk pengadaan tenaga kerja ini semakin meningkat dengan adanya hukum
tentang kesempatan kerja yang sama dan berbagai syarat yang diperlukan
perusahaan.
b.
Performance
Evaluation
Penilaian kinerja sumber
daya manusia merupakan tanggung jawab manajemen sumber daya manusia dan para
manajer. Para manajer mempunyai tanggung jawab utama untuk mengevaluasi
bawahannya dan manajemen sumber daya manusia bertanggung jawab untuk
mengembangkan bentuk penilaian kinerja yang efektif dan memastikan bahwa
penilaian kinerja tersebut dilakukan oleh seluruh bagian perusahaan.
Manajemen sumber daya
rnanusia juga perlu melakukan pelatihan terhadap para manajer tentang bagaimana
membuat standar kinerja yang baik dan membuat penilaian kinerja yang akurat.
c.
Compensation
Dalam hal kompensasi/reward dibutuhkan suatu koordinasi yang
baik antara manajemen sumber daya manusia dengan para manajer. Para manajer
bertanggung jawab dalam hal kenaikan gaji, sedangkan manajemen sumber daya
manusia bertanggung jawab untuk mengembangkan struktur gaji yang baik. Sistem
kompensasi yang memerlukan keseimbangan antara pembayaran dan manfaat yang
diberikan kepada tenaga kerja. Pembayaran meliputi gaji, bonus, insentif, dan
pembagian keuntungan yang diterima oleh karyawan. Manfaat meliputi asuransi
kesehatan, asuransi jiwa, cuti, dan sebagainya. Manajemen sumber daya manusia
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kompensasi yang diberikan bersifat
kompetitif diantara perusahaan yang sejenis, adil, sesuai. dengan hukum yang
berlaku (misalnya:UMR), dan memberikan motivasi.
d.
Training and
Development